Selasa, 09 Februari 2010

MALAM PERTAMA

Herman ingin segera menikah dan ingin merasakan malam pertama. Herman ingin membuktikan kebenaran isi puisi karya sahabatnya, yang ditemukan berserakan di beranda rumahnya. Puisi yang sempat disimpan Herman dalam saku celananya, setelah menemukan, mengambil dan membaca isi puisi tersebut.
Herman pun, ingin segera mengutarakan keinginannya kepada kedua orang tuanya, kepada Bapak Labib dan Ibu Herlin.
Herman menghampiri Bapak Labib dan Ibu Herlin yang sedang duduk di ruang tamu.
Herman mulai mengatur posisi duduk dan mulai membuka percakapan.
”Ayah dan Ibu, Herman mau mengutarakan sesuatu!”
”Tentang apa Her?” tanya Bapak Labib dan Ibu Herlin serempak.
“Tentang masa depan Herman!”
“Memangnya, ada apa dengan masa depan kamu?”
Herman diam sejenak dan mulai menarik nafas, lantas melanjutkan percakapannya.
“Ayah dan ibu kan tahu, kalau Herman sudah besar!”
Bapak Labib dan Ibu Herlin mengangguk.
”Trus” kata Bapak Labib dan Ibu Herlin serempak sambil memperhatikan Herman dengan tatapan serius namun bersahabat.
“Herman, mau……?”
“Katakan saja, tak usah malu-malu!”
Herman diam. Herman mencoba menenangkan dirinya. Herman mencoba memberanikan dirinya, untuk mengutarakan isi hatinya.
Tiba-tiba pintu berbunyi. Bapak Labib, segera menuju pintu dan membukanya. Herman mulai sedikit lega, paling tidak sampai Bapak Labib kembali ke tempat duduknya semula.
Di luar pintu, Bapak Pos menyodorkan sebuah amplop coklat kepada Bapak Labib.
“Dari siapa Pak?”
“Bapak Ali, dari Jakarta!”
“Terimakasih Pak!”
Pak Pos sejenak diam sementara Bapak Labib menawarkan Pak Pos untuk masuk ke dalam rumahnya karena mau diberi hidangan. Namun Pak Pos, memilih pamit karena masih banyak tugas yang harus diselesaikan.
Bapak Labib menganggukkan kepala sambil mengulurkan tangannya pertanda menerima permintaan Pak Pos.
Perlahan, Bapak Labib memalingkan wajahnya dan segara masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan percakapan yang sempat tertunda.
“Dari siapa Pak!” kata Ibu Herlin membuka percakapan.
”Kiriman dari Ali, keluarga kita yang ada di Jakarta”
”Herman!”panggil Bapak Labib
”Ya, Pak!”
”Lanjutkan apa yang hendak kamu sampaikan barusan!”
Herman gugup. Herman diam. Menyadari tingkah Herman yang gusar, Ibu Herlin pun angkat bicara,”Pak, buka saja amplok itu! Siapa tahu kita akan menemukan sesuatu di dalamnya. Lagi pula, Ali sudah lama tidak mengirim amplop pada kita, pasti dia akan memberi kabar tentang dirinya dan keluarganya kepada kita, atau mungkin dia akan memberikan kejutan spesial untuk keluarga kita!”
Herman mulai tenang dan bisa bernafas lega, paling tidak bisa lebih aman hingga Bapak Labib membuka isi amplop dan membacakan isinya di depan semua anggota keluarga Labib. ”Ada surat dan sebuah foto perempuan berjilbab di dalamnya.”
”Kita baca sejenak saja!” Ibu Herlin memberi usul disertai anggukan Herman sebagai tanda setuju.
”Mungkin ada baiknya, kalau kita baca saja berdua di dalam kamar, siapa tahu ada kejutan di dalamnya!” usul Bapak Labib.
”Benar juga usul bapak!”
Herman hanya bisa diam dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil memikirkan isi amplop yang baru diterima ayahnya dari Pak Pos.
Akhirnya, Bapak Labib dan Ibu Herlin masuk kamar sementara Herman masih duduk di ruang tamu.
Herman masih mencoba mengumpulkan keberanian dalam dirinya, agar Herman mampu mengutarakan keinginannya untuk cepat menikah dan bisa merasakan nikmatnya malam pertama.
###
Ruang tamu masih tenang. Tak ada seorang pun yang duduk di kursi tamu, selain Herman.
Pagi itu, Herman pun segera mengambil secarik kertas yang ada di saku celananya. Secarik kertas yang berisi puisi tentang malam pertama, karya sahabatnya yang ditemukan Herman di beranda rumahnya tanpa sengaja.
Perlahan, Herman mulai membuka secarik kertas tersebut dan mulai membacanya,
Malam Pertama
Buah Pena Ibnu Cholid

Kata orang malam pertama itu, sangat menakjubkan dan tak bisa dilukiskan.
Kata orang malam pertama adalah puisi cinta yang paling didamba oleh dua jiwa yang saling bercinta.
Kata orang malam pertama adalah surga yang tak pernah ditemukan di taman remaja.
Herman mengulang-ulang membaca puisi tersebut dengan penuh penghayatan. Tanpa disadari Bapak Labib dan Ibu Herlin menghampiri Herman.
”Herman!” Bapak Labib membuka pembicaraan.
”Ada apa ayah?”
”Ayah dan Ibu sepakat untuk....?”
Herman terdiam. Herman mencoba mennenangkan dirinya dan mencoba mencari jawaban dari ucapan ayahnya yang belum selesai itu, sambil berdoa, Ya Allah berikanlah kabar yang menggembirakan bagi hambaMu ini. Kabulkanlah doa hamba, berikan jalan termudah bagi hamba agar hamba bisa cepat menikah dan bisa merasakan nikmat malam pertama.
”Bapak dan Ibu punya kejutan buatmu. Tapi, kamu tenangkan dirimu terlebih dahulu!”
Hati Herman berdegup kencang. Herman semakin penasaran. Herman duduk antara dua rasa yaitu antara penasaran dan senang.Penasaran lantaran Herman belum tahu, maksud perkataan ayahnya. Senang Herman bisa punya banyak waktu mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk mengutarakan keinginannya, cepat menikah dan bisa menikmati malam pertama.
“Kami punya kabar baik untukmu!
“Tentang apakah itu, ayah?”
“Pamanmu Ali, berniat akan...,”
”Cepat katakan saja, Herman tidak sabar ingin mengetahui kabar baik itu!”
“Sabar dan tenangkan dirimu! Baiklah, ayah akan memberimu kabar baik bahwa pamanmu akan menikahkanmu dengan…, ”
“Menikah!”
”Ya, pamanmu akan menikahkanmu dengan putri bungsunya bernama Yulia. Perempuan yang sangat anggun di balik jilbabnya. Perempuan yang sangat santun tutur katanya. Perempuan yang sangat sopan tingkah lakunya!”
”Coba ulangi perkataan ayah! pinta Herman kepada ayahnya dengan penuh iba, seakan-akan Herman tidak percaya dengan kabar baik yang diterimanya.
“Paman Alimu, akan menikahkanmu dengan putri bungsunya, Yulia”
Herman pun segera sujud syukur atas kabar baik yang baru diterimanya sambil berbisik dalam hatinya, asyik aku akan segera menikah dan aku akan segera mengetahui dan akan segera membuktikan kebenaran isi puisi yang ditulis sahabatku. Terimakasih ya Allah sebab Kau telah memberika kejutan yang sangat membahagiakan bagiku.
Beberapa hari kemudian, Herman dan Yulia menikah. Mereka pun menikmati malam pertamanya, dengan sangat bahagia. Lantas, Herman pun berkata, kenapa tidak dari dulu aku menikah, rasanya aku tak mau waktu cepat berlalu membawa kemesraan cumbu.

Al-Amien, 09 Januari 2010
Diterbitkan pada hari sabtu 13 Maret di situs http://cerpen.net/cerpen-cinta/malam-pertama.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat bertamasya dan selamat melukiskan sejarah anda di bawah semua tulisan yang tersedia.